Mamah

Di tengah hiruk pikuk dan bisingnya kehidupan, ku coba kembali merenung. Mengenai pertanyaan absolut yang selalu berputar di otakku.

Mengenai "Selanjutnya, siapakah aku?"

Terkadang raga ini sudah lelah bergerak. Mata lelah melihat. Kuping lelah mendengar. Dan otak lelah berpikir.
Namun hati terus berharap untuk menemukan jawaban "Selanjutnya, siapakah aku?"
Mamah, ingin rasanya aku kembali ke pelukanmu. Menjadi kecil lagi, anak-anak lagi, polos seperti dulu, tidak tahu apa-apa, sehingga hanya engkaulah yang mengajariku.
Entah mengapa aku selalu ingat kisah tentang para Rasul yang selalu engkau ceritakan 18 tahun lalu. Mariam dan Isa, Asiah dengan Musa, sampai Hajar dengan Ismail. Bukankah begitu hakikat seorang perempuan. Siapapun ia. Menjadi apapun ia. Apapun kedudukannya. Perempuan sejatinya akan menjadi seorang ibu. Menanamkan keyakinan saat keimanan mulai lemah. Memberi kehangatan saat kesepian mulai merasuki tulang. Membawa senyum saat tawa mulai hilang.
Mamah, membayangkan wajahmu saja, ternyata sudah cukup bagiku untuk mengetahui "Selanjutnya, siapakah aku?"
Aku ingin menjadi sepertimu. Seorang ibu baik hati yang selalu mengajarkan kemuliaan pada anaknya. Seorang ibu lembut yang selalu bersabar membesarkan anak-anaknya. Seorang ibu yang selalu ikhlas memaafkan kesalahan buah hatinya.
Mamah, bisakah aku menepati janjiku? Menjadi ibu yang lebih baik dari pada dirimu. Menjadi ibu yang selalu dirindukan anak-anaknya. Seperti yang kualami saat ini. Aku merindukanmu. Meski air mata menetes, sepertinya tak surut juga rasa rinduku. Meski suaramu sudah ku dengar, rasanya tak berkurang juga emosi ingin bertemu denganmu.
Mamah, aku rindu, karena aku mencintaimu. Sangat rindu. Karena engkau pun menyayangiku.

Komentar