Kali ini aku ingin menulis serius. Maksudku, ini bukan hanya sekedar curhat, seperti biasanya.
Tapi tulisan ini tetap sama seperti hakikatnya. Yaitu, menjadi intisari dari apa yang ku pikirkan saat ini. Tentu tentang aku. Rizma Riyandi.
Siang tadi aku membaca tulisan milik seorang sahabat. Sudah kuduga, tulisan itu ditujukan untukku. "Ertiga". Begitu ia menyamarkan namaku. Sungguh panggilan yang unik, dan keren untuk didengar. Walaupun memang terkesan sangat otomotif. Biarkan saja.
Tulisan itu benar-benar mengingatkanku pada seorang Rizma. Ya, itu aku. Mengherankan memang, aku teringat pada diriku sendiri. Lebih tepatnya teringat pada siapa aku, bagaimana aku, dan seperti apa aku.
Dalam tulisan itu ada beberapa kata yang ia sebut tentang Rizma, yaitu ceria, penggerak, dan penyemangat. Aku pun baru menyadari, ia mengidentikkanku dengan senyum. Ya, ini sudah ke sekian kalinya aku mendengar. Bahwa seorang Rizma selalu tampak tersenyum, pada siapapun dan kapanpun.
Okay, kita cukupkan berbicara soal tulisan itu. Aku ingin berpindah topik. Aku ingin berbicara soal passion. Harus ku akui, kecenderunganku sejak dulu adalah memimpin. Ada satu pemimpin besar yang paling ku kagumi. "Umar, namanya". begitulah Umar mengajariku menyusun redaksi untuk menyebut nama seseorang. Tapi pemimpin yang ku maksud kali ini, yang ku kagumi dari dulu, adalah Umar bin Khatab. Bukan Umar Mukhtar, pria yang menyarankanku menyusun redaksi dengan penyebutan nama gaya Pramoedya Ananta Toer. Semoga engkau yang membaca tidak kebingungan untuk membedakan Umar yang ku maksud.
Kembali lagi, ini tentang Umar bin Khatab.
Pria yang jarak kehidupannya beribu tahun denganku itu. Ya, pria itulah yang ku kagumi sejak awal. Meski aku tak melihat wajahnya. Tak mendengar suaranya. Tak tahu bagaimana caranya berjalan, aku tetap saja menaruh perhatian padanya. Caranya memimpin, caranya berpikir, caranya bertingkahlaku, membuat ku sangat terobsesi agar bisa hidup dengan gaya Umar. Itu pula yang memperkuat kecenderunganku untuk memimpin.
Di sisi lain, kehidupanku yang keras memang turut berkontribusi membentuk passion-ku untuk memimpin. Jika orang-orang banyak berbicara soal kemiskinan. Maka aku tak hanya berceloteh. Melainkan ikut merasakan, bagaimana kata miskin itu terealisasi dalam kehidupan seseorang.
Tahukah engkau? Aku tinggal di sebuah desa terpencil di Kabupaten Garut. Untuk sekolah saja, aku harus berjalan kurang lebih dua kilo meter. Pernah satu ketika, saat aku masih kelas 2 SMP. Sebelum aku sampai ke sekolah, aku harus pulang ke rumah. Dan mengurungkan niatku untuk sekolah hari itu.
Jelas itu bukan karena aku malas. Melainkan karena sepatuku yang telah usang, jelek, dan butut, tiba-tiba terbelah menjadi dua di tengah perjalanan. Sakit hati rasanya. Tapi saat itu aku berusaha tak menangis. Dan, akhirnya memang berhasil, tak sedikitpun aku meneteskan air mata. Entah kekuatan dari mana yang Allah SWT hantarkan, sampai aku bisa setegar itu.
Apa saat itu aku marah pada orang tuaku? Tidak. Nyatanya aku memang tak marah pada mamah hanya karena perkara sepele itu. Saat aku duduk di pintu dapur, sambil membuka sepatu yang sudah sudah terbelah menjadi dua bagian, mamah hanya bertanya, "Kunaon teh, uih deui?". artinya kenapa teh pulang lagi. Dengan wajah sedikit tersenyum aku hanya menjawab, "Sepatunya kebelah jadi dua, Mah."
Setelah itu aku tak banyak berbicara. Masuk ke rumah, lalu membaca buku yang harusnya aku pelajari di sekolah. Begitu pun mamah, ia tak banyak berbicara juga soal sepatu jelek itu. Entah apa yang ia pikirkan. Mungkin berusaha untuk tak sedih melihat kondisi anaknya. Karena jika sekarang aku menceritakan kembali soal kisah sepatu, nyatanya ia malah menangis.
Saat aku SMA. Entah kelas berapa aku lupa. Seragam putihku sobek. Penyebabnya apa, juga aku lupa. Sungguh, aku tak berbohong. Yang jelas, seragam itu tak bisa ku pakai lagi. Untungnya kemeja putih milik bapak banyak. Jadi ku ambil saja salah satunya untuk ku kenakan ke sekolah. Hmmm,,, dulu aku tak membeli seragam baru bukan karena aku malas belanja di pasar. Melainkan karena mamah tidak punya uang untuk membelikanku seragam baru. Sungguh memperihatinkan memang.
Semasa aku sekolah, Amang (paman) lah yang membiayai SPP-ku. Karena bapak memang tak sanggup membayar biaya sekolah, yang sebenarnya waktu itu belum terlalu mahal. Bapakku memang payah. Tapi, ya sudahlah. Lagi pula aku tak mau menceritakan soal bapak panjang lebar di sini.
Menjelang kuliah, aku bertekad tak mau memberatkan paman atau bibi dengan menanggung biaya pendidikan lanjutanku. Jadi ku coba saja mendaftar beasiswa bersama sahabat tercinta, Ajeng Fahmi Dini. Alhamdulillah lulus dan berhasil. Aku akhirnya masuk jurusan Manajemen di Universitas Padjadjaran. Katanya itu adalah tempat belajar ilmu manajemen terbaik di Indonesia. Bersyukurlah, aku. Sungguh sangat bersyukur kepada Allah SWT.
Keluarga besar bahagia mendengar aku kuliah di UNPAD. Sebab, di sepanjang sejarah keluarga mamah, akulah orang satu-satunya yang menempuh pendidikan strata satu. Di keluarga bapak, aku orang kedua yang akhirnya meraih gelar sarjana. Tapi kata Amang aku jauh lebih keren dari pada adik sepupuku. Hehe, terkesan narsis sih. Walaupun begitu, tetap ada saja orang yang tak suka dengan pencapaianku. tapi biarkan saja. Abaikan, hal itu tak penting bukan.
Saat kuliah, nyatanya untuk membeli tas, buku-buku, sepatu, sampai setrikaan pun paman dan bibiku masih turut memberi sumbangan. Maka itu aku menyayangi mereka, karena mereka pun menyayangiku. Mang Aep, Mang Dadang Mamah, Mang Dadang Bapak, Bi Itoh, Bi Empong, Bi Dede, Mang Opik, Wa Yuyun, Mang Alit, Apih, Mang Elan, Ma Aam, Mang Nandan, Aki, Emak, dan semuanya, terimakasih sudah banyak berdoa untuk Ima.
Tapi di antara mereka semua, jelas ada dua orang yang sangat bahagia, yaitu Bapak dan Mamah. Bagi kedua orang tuaku yang hanya lulusan SD, apa yang aku capai memberikan kebanggan tersendiri. Sampai sekarang Bapak sering bilang, saking terharunya dia menangis siang malam saat mendengar pengumuman kelulusanku di UNPAD. Berbeda dengan mamah, waktu aku beri tahu, "Mah, teteh keterima di UNPAD," raut wajahnya tidak banyak berubah. Hanya tersenyum dan bilang, "Alhamdulillah".
Tapi aku tahu betul, mamah puas dengan apa yang diraih Rizma. Percaya atau tidak, Mamah menanamkan keyakinan untuk kuliah padaku, saat aku berusia 5 sampai 7 tahun. Sampai sekarang aku pun masih ingat kata-katanya, "Nanti kalau Ima sudah besar, Ima harus kuliah di Bandung. Di UNPAD ya."
Dan kata-kata yang disampaikan belasan tahun lalu itu akhirnya tercapai.
Mari kita fokus kembali bercerita soal passionku. Tadi hanya selingan.
Kemiskinan adalah hal lumrah bagiku. Bukan hanya untuk ku rasakan sendiri. Melainkan juga ku lihat terjadi di antara tetanggaku. Kau tahu? Aku yang tidak bisa membeli sepatu dan seragam sekolah ini masih beruntung. Sebab banyak di antara tetanggaku yang tidak punya beras untuk dimasak. Tak jarang mamah memberikan sedikit persediaan beras untuk tetangga yang membutuhkan. Sekalipun terkadang persediaan untuk keluarga sudah menipis, mamah masih saja rela menyerahkan butir-butir beras itu pada orang lain. Ya memang mamah adalah perempuan paling baik hati di dunia. Itu menurutku ya. Siapa tahu kau menemukan perempuan yang lebih baik dari mamahku.
Untuk keluar dari kemiskinan, banyak di antara keluargaku yang memilih tinggal di kota. Seperti paman-paman dan bibiku.
Lanjut ceritanya lagi ya. Di kampungku, banyak anak berusia belasan tahun putus sekolah. Yang laki-laki disuruh bekerja. Yang perempuan lebih baik menikah. Begitulah prinsip orang-orang di sana. Aku tahu, itu bukan artinya mereka tak mau sekolah. Nyatanya ada anak yang benar-benar ingin sekolah, ada orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya, tapi tak bisa merealisasikan niat karena alasan klasik yang super menyebalkan. Yaitu, tidak punya uang. Brengsek memang. Kondisi itu tak jarang membuatku kesal. Tapi jika sudah begitu, pada siapa aku harus marah? Pada orang tua yang tidak punya uang? atau pada anak yang orang tuanya tidak punya uang? atau pada orang tuaku yang tidak bisa membantu anak lain untuk sekolah? Lah, Bapakku saja hampir-hampir tak bisa menyekolahkanku.
Kau tahu, sejak dulu aku melihat kenyataan itu rasanya ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokkanku. Dan sewaktu-waktu ingin kumuntahkan. Ada benda yang membuat dadaku sakit. Terkadang nafasku tersengal-sengal dibuatnya. Sampai air mata pun merembes mengaliri pipi. Ah, sialan betul. Aku memang terkadang tak bisa mengendalikan emosi seperti sekarang. Biarlah orang beranggapan bahwa aku berlebihan. Yang jelas begitulah aku.
Seluruh runtutan hidup itu menempaku menjadi seperti sekarang. Yang kata orang tuaku, aku ini bermental baja. Dari dulu aku bertekad ingin memperbaiki kehidupan orang-orang sekitar. Tapi jika melihat kenyataannya sekarang, pedih sekali. Nyatanya gelar S.E yang betengger di belakang namaku belum memberikan apa-apa bagi orang-orang di sekitar. Malu sekali. Entah bagaimana aku harus mendeskripsikan rasa malu itu.
Seluruh emosiku, perasaanku, cara pandangku, kata Amang, membuatku tumbuh menjadi perempuan yang mandiri. Mampu mengambil alih tanggung jawab besar. Mendorong orang-orang untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Dipercaya untuk segala urusan. Dan, bisa menjadi contoh terbaik bagi adik-adiknya. Ku akui, memang adik-adik sepupuku selalu bilang, ingin seperti Teh Ima. Bahkan Alam (salah satu adik sepupu yang baik hati) bertekad menjadi orang yang lebih baik dariku. Aku senang saja mendengar mereka berkata begitu. Entahlah, rasanya ada sebuah kepuasan saja.
Kau tahu? hal yang sangat mempengaruhi seluruh pencapaianku selama ini adalah obsesiku terhadap Umar bin Khatab. Hal ini juga turut membentuk karakter dan sifatku. Kebanyakan orang yang baru mengenalku dari luar akan beranggapan aku ini lembut, baik hati, dan penurut. Bagi mereka yang sudah mengenalku lama, tentu punya anggapan lain. Aku sangat keras terhadap prinsip. Jika sudah serius mencanangkan suatu rencana, maka aku akan menjalankannya sampai akhir. Tak peduli orang-orang suka atau tidak. Aku cukup gila kerja, dan hal ini sering ku anggap sebagai sebuah profesionalisme.
Aku tak suka merengek, atau mengeluh untuk sesuatu yang tak penting. Sakit? Lelah? Bukankah itu sesuatu yang biasa. Sebagian orang menganggapku gila karena hal itu. Sebagian menganggapku terlalu penurut dalam menjalankan tugas kerja. Namun beginilah aku. Seorang Rizma Riyandi memang selalu terobsesi menyelesaikan tugas sampai tuntas. Bukan ingin memperoleh pujian dari dosen, atasan, atau senior. Aku bahkann nyaris muak terhadap pujian yang datang untuk diriku. Walau begitu aku harus tetap menghormati para pelontar pujian bukan, minimal dengan tersenyum dan mengucapka terimakasih. Aku menjalankan prinsip yang ketat pada diri ini, karena aku terobsesi Umar bin Khatab. Aku ingin sekuat Umar. Seberhasil Umar. Sehebat Umar. Begitulah aku.
Ya, aku tahu, aku adalah seorang perempuan. Tapi, ini bukan penghalang bagiku untuk mengejar keutamaan seorang Umar. Walaupun nyatanya, tak pernah bisa aku seperti Umar. Sebagian orang mungkin merasa khawatir dengan kondisiku yang mereka anggap terlalu memforsir diri. Tapi di situlah aku justru menikmati kehidupan. Seorang Rizma Riyandi bukanlah perempuan yang mudah menyerah untuk mencapai cita-citanya. Kau tahu apa cita-cita tertinggiku? Cita-cita tertinggiku adalah berkontribusi menyejahterakan umat. Sementara S2 dan menjadi pengajar adalah salah satu wasilah yang kuyakini bisa mengantarkanku menuju cita-cita tersebut.
Sifatku ini pulalah yang membuat orang-orang mundur teratur di tengah upayanya mendekatiku. Seorang sahabat berkata, Rizma terlalu cerdas. "Makanya kamu harus dapat pasangan yang lebih pintar dan lebih hebat dari kamu. Itu mutlak Riz," begitulah Desi berbicara padaku dua tahun lalu. Dari dulu sampai sekarang aku pun mengiyakan pernyataanmu itu Des.
Taukah kau? Banyak pria yang tidak mau menerima obsesiku. Karena nyatanya, para pria lebih mudah menerima kekurangan seorang perempuan. Dari pada menerima obsesi seorang perempuan sepertiku. Sejak dulu aku bertekad tak akan merubah pendirianku sedikitpun. Semoga kau benar-benar menerimaku apa adanya.
Tapi tulisan ini tetap sama seperti hakikatnya. Yaitu, menjadi intisari dari apa yang ku pikirkan saat ini. Tentu tentang aku. Rizma Riyandi.
Siang tadi aku membaca tulisan milik seorang sahabat. Sudah kuduga, tulisan itu ditujukan untukku. "Ertiga". Begitu ia menyamarkan namaku. Sungguh panggilan yang unik, dan keren untuk didengar. Walaupun memang terkesan sangat otomotif. Biarkan saja.
Tulisan itu benar-benar mengingatkanku pada seorang Rizma. Ya, itu aku. Mengherankan memang, aku teringat pada diriku sendiri. Lebih tepatnya teringat pada siapa aku, bagaimana aku, dan seperti apa aku.
Dalam tulisan itu ada beberapa kata yang ia sebut tentang Rizma, yaitu ceria, penggerak, dan penyemangat. Aku pun baru menyadari, ia mengidentikkanku dengan senyum. Ya, ini sudah ke sekian kalinya aku mendengar. Bahwa seorang Rizma selalu tampak tersenyum, pada siapapun dan kapanpun.
Okay, kita cukupkan berbicara soal tulisan itu. Aku ingin berpindah topik. Aku ingin berbicara soal passion. Harus ku akui, kecenderunganku sejak dulu adalah memimpin. Ada satu pemimpin besar yang paling ku kagumi. "Umar, namanya". begitulah Umar mengajariku menyusun redaksi untuk menyebut nama seseorang. Tapi pemimpin yang ku maksud kali ini, yang ku kagumi dari dulu, adalah Umar bin Khatab. Bukan Umar Mukhtar, pria yang menyarankanku menyusun redaksi dengan penyebutan nama gaya Pramoedya Ananta Toer. Semoga engkau yang membaca tidak kebingungan untuk membedakan Umar yang ku maksud.
Kembali lagi, ini tentang Umar bin Khatab.
Pria yang jarak kehidupannya beribu tahun denganku itu. Ya, pria itulah yang ku kagumi sejak awal. Meski aku tak melihat wajahnya. Tak mendengar suaranya. Tak tahu bagaimana caranya berjalan, aku tetap saja menaruh perhatian padanya. Caranya memimpin, caranya berpikir, caranya bertingkahlaku, membuat ku sangat terobsesi agar bisa hidup dengan gaya Umar. Itu pula yang memperkuat kecenderunganku untuk memimpin.
Di sisi lain, kehidupanku yang keras memang turut berkontribusi membentuk passion-ku untuk memimpin. Jika orang-orang banyak berbicara soal kemiskinan. Maka aku tak hanya berceloteh. Melainkan ikut merasakan, bagaimana kata miskin itu terealisasi dalam kehidupan seseorang.
Tahukah engkau? Aku tinggal di sebuah desa terpencil di Kabupaten Garut. Untuk sekolah saja, aku harus berjalan kurang lebih dua kilo meter. Pernah satu ketika, saat aku masih kelas 2 SMP. Sebelum aku sampai ke sekolah, aku harus pulang ke rumah. Dan mengurungkan niatku untuk sekolah hari itu.
Jelas itu bukan karena aku malas. Melainkan karena sepatuku yang telah usang, jelek, dan butut, tiba-tiba terbelah menjadi dua di tengah perjalanan. Sakit hati rasanya. Tapi saat itu aku berusaha tak menangis. Dan, akhirnya memang berhasil, tak sedikitpun aku meneteskan air mata. Entah kekuatan dari mana yang Allah SWT hantarkan, sampai aku bisa setegar itu.
Apa saat itu aku marah pada orang tuaku? Tidak. Nyatanya aku memang tak marah pada mamah hanya karena perkara sepele itu. Saat aku duduk di pintu dapur, sambil membuka sepatu yang sudah sudah terbelah menjadi dua bagian, mamah hanya bertanya, "Kunaon teh, uih deui?". artinya kenapa teh pulang lagi. Dengan wajah sedikit tersenyum aku hanya menjawab, "Sepatunya kebelah jadi dua, Mah."
Setelah itu aku tak banyak berbicara. Masuk ke rumah, lalu membaca buku yang harusnya aku pelajari di sekolah. Begitu pun mamah, ia tak banyak berbicara juga soal sepatu jelek itu. Entah apa yang ia pikirkan. Mungkin berusaha untuk tak sedih melihat kondisi anaknya. Karena jika sekarang aku menceritakan kembali soal kisah sepatu, nyatanya ia malah menangis.
Saat aku SMA. Entah kelas berapa aku lupa. Seragam putihku sobek. Penyebabnya apa, juga aku lupa. Sungguh, aku tak berbohong. Yang jelas, seragam itu tak bisa ku pakai lagi. Untungnya kemeja putih milik bapak banyak. Jadi ku ambil saja salah satunya untuk ku kenakan ke sekolah. Hmmm,,, dulu aku tak membeli seragam baru bukan karena aku malas belanja di pasar. Melainkan karena mamah tidak punya uang untuk membelikanku seragam baru. Sungguh memperihatinkan memang.
Semasa aku sekolah, Amang (paman) lah yang membiayai SPP-ku. Karena bapak memang tak sanggup membayar biaya sekolah, yang sebenarnya waktu itu belum terlalu mahal. Bapakku memang payah. Tapi, ya sudahlah. Lagi pula aku tak mau menceritakan soal bapak panjang lebar di sini.
Menjelang kuliah, aku bertekad tak mau memberatkan paman atau bibi dengan menanggung biaya pendidikan lanjutanku. Jadi ku coba saja mendaftar beasiswa bersama sahabat tercinta, Ajeng Fahmi Dini. Alhamdulillah lulus dan berhasil. Aku akhirnya masuk jurusan Manajemen di Universitas Padjadjaran. Katanya itu adalah tempat belajar ilmu manajemen terbaik di Indonesia. Bersyukurlah, aku. Sungguh sangat bersyukur kepada Allah SWT.
Keluarga besar bahagia mendengar aku kuliah di UNPAD. Sebab, di sepanjang sejarah keluarga mamah, akulah orang satu-satunya yang menempuh pendidikan strata satu. Di keluarga bapak, aku orang kedua yang akhirnya meraih gelar sarjana. Tapi kata Amang aku jauh lebih keren dari pada adik sepupuku. Hehe, terkesan narsis sih. Walaupun begitu, tetap ada saja orang yang tak suka dengan pencapaianku. tapi biarkan saja. Abaikan, hal itu tak penting bukan.
Saat kuliah, nyatanya untuk membeli tas, buku-buku, sepatu, sampai setrikaan pun paman dan bibiku masih turut memberi sumbangan. Maka itu aku menyayangi mereka, karena mereka pun menyayangiku. Mang Aep, Mang Dadang Mamah, Mang Dadang Bapak, Bi Itoh, Bi Empong, Bi Dede, Mang Opik, Wa Yuyun, Mang Alit, Apih, Mang Elan, Ma Aam, Mang Nandan, Aki, Emak, dan semuanya, terimakasih sudah banyak berdoa untuk Ima.
Tapi di antara mereka semua, jelas ada dua orang yang sangat bahagia, yaitu Bapak dan Mamah. Bagi kedua orang tuaku yang hanya lulusan SD, apa yang aku capai memberikan kebanggan tersendiri. Sampai sekarang Bapak sering bilang, saking terharunya dia menangis siang malam saat mendengar pengumuman kelulusanku di UNPAD. Berbeda dengan mamah, waktu aku beri tahu, "Mah, teteh keterima di UNPAD," raut wajahnya tidak banyak berubah. Hanya tersenyum dan bilang, "Alhamdulillah".
Tapi aku tahu betul, mamah puas dengan apa yang diraih Rizma. Percaya atau tidak, Mamah menanamkan keyakinan untuk kuliah padaku, saat aku berusia 5 sampai 7 tahun. Sampai sekarang aku pun masih ingat kata-katanya, "Nanti kalau Ima sudah besar, Ima harus kuliah di Bandung. Di UNPAD ya."
Dan kata-kata yang disampaikan belasan tahun lalu itu akhirnya tercapai.
Mari kita fokus kembali bercerita soal passionku. Tadi hanya selingan.
Kemiskinan adalah hal lumrah bagiku. Bukan hanya untuk ku rasakan sendiri. Melainkan juga ku lihat terjadi di antara tetanggaku. Kau tahu? Aku yang tidak bisa membeli sepatu dan seragam sekolah ini masih beruntung. Sebab banyak di antara tetanggaku yang tidak punya beras untuk dimasak. Tak jarang mamah memberikan sedikit persediaan beras untuk tetangga yang membutuhkan. Sekalipun terkadang persediaan untuk keluarga sudah menipis, mamah masih saja rela menyerahkan butir-butir beras itu pada orang lain. Ya memang mamah adalah perempuan paling baik hati di dunia. Itu menurutku ya. Siapa tahu kau menemukan perempuan yang lebih baik dari mamahku.
Untuk keluar dari kemiskinan, banyak di antara keluargaku yang memilih tinggal di kota. Seperti paman-paman dan bibiku.
Lanjut ceritanya lagi ya. Di kampungku, banyak anak berusia belasan tahun putus sekolah. Yang laki-laki disuruh bekerja. Yang perempuan lebih baik menikah. Begitulah prinsip orang-orang di sana. Aku tahu, itu bukan artinya mereka tak mau sekolah. Nyatanya ada anak yang benar-benar ingin sekolah, ada orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya, tapi tak bisa merealisasikan niat karena alasan klasik yang super menyebalkan. Yaitu, tidak punya uang. Brengsek memang. Kondisi itu tak jarang membuatku kesal. Tapi jika sudah begitu, pada siapa aku harus marah? Pada orang tua yang tidak punya uang? atau pada anak yang orang tuanya tidak punya uang? atau pada orang tuaku yang tidak bisa membantu anak lain untuk sekolah? Lah, Bapakku saja hampir-hampir tak bisa menyekolahkanku.
Kau tahu, sejak dulu aku melihat kenyataan itu rasanya ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokkanku. Dan sewaktu-waktu ingin kumuntahkan. Ada benda yang membuat dadaku sakit. Terkadang nafasku tersengal-sengal dibuatnya. Sampai air mata pun merembes mengaliri pipi. Ah, sialan betul. Aku memang terkadang tak bisa mengendalikan emosi seperti sekarang. Biarlah orang beranggapan bahwa aku berlebihan. Yang jelas begitulah aku.
Seluruh runtutan hidup itu menempaku menjadi seperti sekarang. Yang kata orang tuaku, aku ini bermental baja. Dari dulu aku bertekad ingin memperbaiki kehidupan orang-orang sekitar. Tapi jika melihat kenyataannya sekarang, pedih sekali. Nyatanya gelar S.E yang betengger di belakang namaku belum memberikan apa-apa bagi orang-orang di sekitar. Malu sekali. Entah bagaimana aku harus mendeskripsikan rasa malu itu.
Seluruh emosiku, perasaanku, cara pandangku, kata Amang, membuatku tumbuh menjadi perempuan yang mandiri. Mampu mengambil alih tanggung jawab besar. Mendorong orang-orang untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Dipercaya untuk segala urusan. Dan, bisa menjadi contoh terbaik bagi adik-adiknya. Ku akui, memang adik-adik sepupuku selalu bilang, ingin seperti Teh Ima. Bahkan Alam (salah satu adik sepupu yang baik hati) bertekad menjadi orang yang lebih baik dariku. Aku senang saja mendengar mereka berkata begitu. Entahlah, rasanya ada sebuah kepuasan saja.
Kau tahu? hal yang sangat mempengaruhi seluruh pencapaianku selama ini adalah obsesiku terhadap Umar bin Khatab. Hal ini juga turut membentuk karakter dan sifatku. Kebanyakan orang yang baru mengenalku dari luar akan beranggapan aku ini lembut, baik hati, dan penurut. Bagi mereka yang sudah mengenalku lama, tentu punya anggapan lain. Aku sangat keras terhadap prinsip. Jika sudah serius mencanangkan suatu rencana, maka aku akan menjalankannya sampai akhir. Tak peduli orang-orang suka atau tidak. Aku cukup gila kerja, dan hal ini sering ku anggap sebagai sebuah profesionalisme.
Aku tak suka merengek, atau mengeluh untuk sesuatu yang tak penting. Sakit? Lelah? Bukankah itu sesuatu yang biasa. Sebagian orang menganggapku gila karena hal itu. Sebagian menganggapku terlalu penurut dalam menjalankan tugas kerja. Namun beginilah aku. Seorang Rizma Riyandi memang selalu terobsesi menyelesaikan tugas sampai tuntas. Bukan ingin memperoleh pujian dari dosen, atasan, atau senior. Aku bahkann nyaris muak terhadap pujian yang datang untuk diriku. Walau begitu aku harus tetap menghormati para pelontar pujian bukan, minimal dengan tersenyum dan mengucapka terimakasih. Aku menjalankan prinsip yang ketat pada diri ini, karena aku terobsesi Umar bin Khatab. Aku ingin sekuat Umar. Seberhasil Umar. Sehebat Umar. Begitulah aku.
Ya, aku tahu, aku adalah seorang perempuan. Tapi, ini bukan penghalang bagiku untuk mengejar keutamaan seorang Umar. Walaupun nyatanya, tak pernah bisa aku seperti Umar. Sebagian orang mungkin merasa khawatir dengan kondisiku yang mereka anggap terlalu memforsir diri. Tapi di situlah aku justru menikmati kehidupan. Seorang Rizma Riyandi bukanlah perempuan yang mudah menyerah untuk mencapai cita-citanya. Kau tahu apa cita-cita tertinggiku? Cita-cita tertinggiku adalah berkontribusi menyejahterakan umat. Sementara S2 dan menjadi pengajar adalah salah satu wasilah yang kuyakini bisa mengantarkanku menuju cita-cita tersebut.
Sifatku ini pulalah yang membuat orang-orang mundur teratur di tengah upayanya mendekatiku. Seorang sahabat berkata, Rizma terlalu cerdas. "Makanya kamu harus dapat pasangan yang lebih pintar dan lebih hebat dari kamu. Itu mutlak Riz," begitulah Desi berbicara padaku dua tahun lalu. Dari dulu sampai sekarang aku pun mengiyakan pernyataanmu itu Des.
Taukah kau? Banyak pria yang tidak mau menerima obsesiku. Karena nyatanya, para pria lebih mudah menerima kekurangan seorang perempuan. Dari pada menerima obsesi seorang perempuan sepertiku. Sejak dulu aku bertekad tak akan merubah pendirianku sedikitpun. Semoga kau benar-benar menerimaku apa adanya.
Komentar
Posting Komentar