Lima hari.
Aku menginjakkan kaki di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unpad. Rasanya tenang, damai, dan ada desiran halus yang menyapa hati.
Bukan hanya aroma keilmuan yang kucium. Tapi ada semangat pembaharuan yang ku peroleh dari setiap langkahku di sana.
Banyak sekali wajah baru. Mereka tidak lagi ku kenal seperti dua, tiga, atau empat tahun lalu. Namun, senyum dari muka mereka membuatku mengingat sesuatu. Yakni kecintaan akan ilmu pengetahuan.
Merekalah para murid yang disebut dengan istilah "Mahasiswa". Seperti aku dua tahun lalu.
Senyum ku mengembang, saat teringat masa-masa tertidur di ruang kelas atau perpustakaan. Saat aku tak mengikuti UAS dan UTS. Saat aku meninggalkan kelas mata kuliah dengan alasan konyol. Saat aku diomel-omeli Bu Popi di depan puluhan mahasiswa S2. Saat aku bulak-balik bimbingan skripsi dengan Pa Yunizar. Saat aku mendapat hadiah-hadiah kecil dari Bu Vita. Saat aku minta tolong ini itu dan merepotkan Bu Dian. Saat aku sering protes pada Pa Anas. Saat aku banyak mengobrol dengan Bu Waode. Terutama saat aku banyak belajar sekaligus memusingkan Pa Irawan.
Ku pikir semakin banyaknya wajah baru, mereka akan melupakanku. Ternyata tidak. Jujur saja, hal ini yang membuatku terharu. Meski aku sering merepotkan guru-guruku, mereka justeru malah mengingatku.
Pa Yunizar:
Terharu rasanya bertemu Bapak, yang kemudian menyapa dan bertanya kabar. Walaupun dosen senior itu sempat bilang, "Maaf atuh, mahasiswa bimbingan saya banyak. Jadi agak lupa." Tapi malah langsung antusias dan mengiyakan untuk memberi surat rekomendasi kelanjutan kuliahku. "Langsung aja. Besok ya, saya di kampus," katanya. Lalu di hari yang dijanjikan beliau sakit, dan berkata, "Titip suratnya ke Pa Dadang. Ngak papa, nanti kamu tulis alamat di Jogja. Biar saya kirim via pos." Pa Yun, dirimu memang selalu tulus. Terimakasih.
Bu Waode:
Beliau selalu memanggil dengan kata "Rizma Sayang". Walau sedang sibuk membimbing mahasiswa S3, beliau masih saja sempat memanggilku dengan antusias dan berkata, "Rizmaaa, gendut," sambil tertawa gemas. Aku pun menyalaminya. Dan seperti biasa, bermanja-manja. Senang rasanya bertemu Ibu. Guru yang sebenarnya baik hati dan peduli dengan mahasiswa. Hanya saja, sering dianggap galak, karena sangat disiplin. Tapi aku suka.
Pa Anas:
Aku berjalan di lorong gedung C. Tiba-tiba ada seorang pria memanggilku. "Rizma!" katanya. Pria itu berbatik merah, menjinjing berkas, dan membawa absensi mahasiswa. Aaaahhh ternyata itu Pa Anas. Segeralah aku mendekat dan berbincang-bincang cukup panjang. Hanya sayang, Pa Anas harus segera pergi ke kelas. "Ah Rizma, kalau aku ngak ada jadwal ngajar sekarang, kita masih bisa ngobrol-ngobrol," ujarnya. Lalu mengucap salam perpisahan. Dari dulu aku memang mengagumi bapak yang satu ini. Sederhana. Begitulah ia.
Bu Popi:
Dosen yang satu ini sekampung halaman denganku. Garut. Perempuan supersibuk se-FEB Unpad. Mobilitasnya tinggi. Keren. Itu satu kata untuk Bu Popi.
Walaupun aku sempat dimarah-marahi, tapi omelan beliau jujur. Aku suka. Beliau pada dasarnya baik. Selalu membantuku untuk berbagai hal. Ini-itu, aku nyatanya selalu merepotkan Bu Popi.
Mungkin bukan aku saja yang pernah diomeli Bu Popi. Bisa jadi Arif Yahya, Angga Kusuma Negara, Yudi Krisnandi, Yudi kakaknya Galuh, atau mahasiswa Bu Popi lainnya pernah mengalami dimarah-marahi sepertiku. Bukankah justeru di situlah nikmatnya. Nikmat belajar dari orang luar biasa seperti ibu, yang walaupun sibuk tetap bilang, "Rizma kalau ada apa-apa telepon ibu ya. Kamu itu cerdas, harus sekolah lagi."
Aaahhhh, guru-guruku, kalian membuatku ingin membersamaimu. Tunggu aku di Unpad.
Aku menginjakkan kaki di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unpad. Rasanya tenang, damai, dan ada desiran halus yang menyapa hati.
Bukan hanya aroma keilmuan yang kucium. Tapi ada semangat pembaharuan yang ku peroleh dari setiap langkahku di sana.
Banyak sekali wajah baru. Mereka tidak lagi ku kenal seperti dua, tiga, atau empat tahun lalu. Namun, senyum dari muka mereka membuatku mengingat sesuatu. Yakni kecintaan akan ilmu pengetahuan.
Merekalah para murid yang disebut dengan istilah "Mahasiswa". Seperti aku dua tahun lalu.
Senyum ku mengembang, saat teringat masa-masa tertidur di ruang kelas atau perpustakaan. Saat aku tak mengikuti UAS dan UTS. Saat aku meninggalkan kelas mata kuliah dengan alasan konyol. Saat aku diomel-omeli Bu Popi di depan puluhan mahasiswa S2. Saat aku bulak-balik bimbingan skripsi dengan Pa Yunizar. Saat aku mendapat hadiah-hadiah kecil dari Bu Vita. Saat aku minta tolong ini itu dan merepotkan Bu Dian. Saat aku sering protes pada Pa Anas. Saat aku banyak mengobrol dengan Bu Waode. Terutama saat aku banyak belajar sekaligus memusingkan Pa Irawan.
Ku pikir semakin banyaknya wajah baru, mereka akan melupakanku. Ternyata tidak. Jujur saja, hal ini yang membuatku terharu. Meski aku sering merepotkan guru-guruku, mereka justeru malah mengingatku.
Pa Yunizar:
Terharu rasanya bertemu Bapak, yang kemudian menyapa dan bertanya kabar. Walaupun dosen senior itu sempat bilang, "Maaf atuh, mahasiswa bimbingan saya banyak. Jadi agak lupa." Tapi malah langsung antusias dan mengiyakan untuk memberi surat rekomendasi kelanjutan kuliahku. "Langsung aja. Besok ya, saya di kampus," katanya. Lalu di hari yang dijanjikan beliau sakit, dan berkata, "Titip suratnya ke Pa Dadang. Ngak papa, nanti kamu tulis alamat di Jogja. Biar saya kirim via pos." Pa Yun, dirimu memang selalu tulus. Terimakasih.
Bu Waode:
Beliau selalu memanggil dengan kata "Rizma Sayang". Walau sedang sibuk membimbing mahasiswa S3, beliau masih saja sempat memanggilku dengan antusias dan berkata, "Rizmaaa, gendut," sambil tertawa gemas. Aku pun menyalaminya. Dan seperti biasa, bermanja-manja. Senang rasanya bertemu Ibu. Guru yang sebenarnya baik hati dan peduli dengan mahasiswa. Hanya saja, sering dianggap galak, karena sangat disiplin. Tapi aku suka.
Pa Anas:
Aku berjalan di lorong gedung C. Tiba-tiba ada seorang pria memanggilku. "Rizma!" katanya. Pria itu berbatik merah, menjinjing berkas, dan membawa absensi mahasiswa. Aaaahhh ternyata itu Pa Anas. Segeralah aku mendekat dan berbincang-bincang cukup panjang. Hanya sayang, Pa Anas harus segera pergi ke kelas. "Ah Rizma, kalau aku ngak ada jadwal ngajar sekarang, kita masih bisa ngobrol-ngobrol," ujarnya. Lalu mengucap salam perpisahan. Dari dulu aku memang mengagumi bapak yang satu ini. Sederhana. Begitulah ia.
Bu Popi:
Dosen yang satu ini sekampung halaman denganku. Garut. Perempuan supersibuk se-FEB Unpad. Mobilitasnya tinggi. Keren. Itu satu kata untuk Bu Popi.
Walaupun aku sempat dimarah-marahi, tapi omelan beliau jujur. Aku suka. Beliau pada dasarnya baik. Selalu membantuku untuk berbagai hal. Ini-itu, aku nyatanya selalu merepotkan Bu Popi.
Mungkin bukan aku saja yang pernah diomeli Bu Popi. Bisa jadi Arif Yahya, Angga Kusuma Negara, Yudi Krisnandi, Yudi kakaknya Galuh, atau mahasiswa Bu Popi lainnya pernah mengalami dimarah-marahi sepertiku. Bukankah justeru di situlah nikmatnya. Nikmat belajar dari orang luar biasa seperti ibu, yang walaupun sibuk tetap bilang, "Rizma kalau ada apa-apa telepon ibu ya. Kamu itu cerdas, harus sekolah lagi."
Aaahhhh, guru-guruku, kalian membuatku ingin membersamaimu. Tunggu aku di Unpad.
Komentar
Posting Komentar