Rintik di hati

 


Mungkin betul kata kata seorang teman. Waktuku terlalu lapang. Banyak senggang yang tak teroptimalkan. Sampai akhirnya aku merasa bingung harus melakukan apa dan berbuat apa.

Jika detik demi detik ku biarkan berlalu, maka terbakarlah nasibku. Kesempatan pun hilang, bagai tepung terigu yang tertiup angin. Pudar.

Ini adalah kali yang kesekian, saat aku merasa gamang. Atau mungkin sedih. Entahlah aku tak bisa membedakan antara gamang dan sedih. Karena perbedaannya sangat tipis.

Tadi siang tepat pukul 14.00, mamah pulang ke Garut, setelah tiga hari berkunjung ke kosanku di Yogyakarta. Walaupun mengantar kepulangannya di Stasiun Lempuyangan dengan muka ceria, sejujurnya ada rintik hujan turun di hatiku. Gemericik.

Sejak dulu aku selalu ingin tinggal bersama mamah. Dan pernah bercita-cita hidup bersamanya. Bukan karena ia perempuan baik yang selalu ikhlas mencucikan pakaianku atau mengurus keperluanku.

Tapi karena aku ingin tinggal saja bersamanya. Di dekat mamah hatiku selalu senang. Walaupun terkadang perempuan berusia 53 tahun itu berulah aneh. Kemudian aku merah padam dibuatnya.

Mamah pernah bilang, "Sanajan teu boga duit ge, ari ngumpul jeung budak mah atoh weh," artinya meskipun tidak punya uang, berkumpul bersama anak-anak selalu membuatnya bahagia.

Ya, kalau boleh jujur akupun sama. Walau tak punya uang, berdekatan dengan mamah selalu membuatku tenang.

Aku rela jika setiap hari harus mengepel lantai atau membersihkan jendela, asalkan bisa tinggal di rumah bersama mamah.

Tapi itu hanya angan-angan. Kenyataannya tidak demikian. Aku harus mencari uang agar dapurmu bisa terus ngebul, Mah.

Begitu pula selanjutnya. Aku harus tinggal bersama suamiku, bukan bersamamu, Mah. Tapi tak apa. Aku tahu engakau sangat pengertian, Mah.

Komentar