Pertengahan Ramadhan, akhirnya aku sampai pada keinsyafan. Kesadaran bahwa aku banyak berbuat salah, ponggah, sombong, dan menyebalkan.
Angkuh termasuk sifat bebalku. Merasa paling benar, ingin jadi pusat perhatian, dan berambisi terhadap power.
Aku insyaf ternyata itu semua sangat memalukan. Dzalim. Sungguh aku ingin meninggalkan kebodohan itu selama-lamanya.
Benar kata Umar Mukhtar, sekarang saatnya kita tawadhu. Tapi bagaimana merealisasikan tawadhu dengan benar. Jawabannya hanya 1.
Cobalah melihat Umar. Ya, Umar bin Khattab. Sosok yang selalu menjadi cermin. Ketawadhuannya diaplikasikan dalam segala bentuk kesungguh-sungguhan.
Sudah lama aku ingin menemui Umar dalam bentuk kepribadian. Meskipun jaraknya denganku 14 abad, tapi teladannya begitu dekat.
Andai aku bisa melihatnya langsung, bertemu langsung, pasti akan ku tanya bagaimana cara mempertahankan ketawadhuan dalam jangka waktu yang lama.
Bahkan sampai mati. Bagaimana menghilangkan rasa sombong, memangkasnya sampai ke akar, lalu memotong-motongnya sampai mati.
Hingga hati bersih tanpa ketakaburan.
Amirul Mukminin, seharusnya kau tahu betapa inginnya aku sepertimu. Dan pengejaran untuk menjadi sepertimu sangat sulit dilakukan.
Hatiku harus kuat, niatku harus kokoh, tekadku harus tak terpatahkan.
Amirul Mukminin, sejak awal ku sadari meniti jalan hidup sepertimu itu sulit.
Tidak mengikuti kehendak dunia, mengikhlaskan harta, dan meloncati takdir satu ke takdir yang lain, itu semua tidak mudah.
Tapi aku tetap ingin sepertimu. Lompat dari takdir kegelapan, menuju takdir yang lebih terang.
Semoga Allah SWT mengasihiku dan menguatkan hatiku agar terus bisa berkaca di cerminmu, Amirul Mukminin.
Komentar
Posting Komentar